Matahari baru saja terbit. Gema suara takbir yang bersahutan sejak tadi sore semakin jelas terdengar dari corong-corong masjid. Orang-orang dengan
pakaian bagus bergegas memasuki sebuah mesjid besar di salah satu jalan
di Jakarta. Kebanyakan mereka memakai busana Muslim dengan kepala ditutupi kopiah. Selembar sajadah terselempang di pundak mereka.
Sebagian wanita tampak sudah memakai mukena sejak berangkat dari rumah.
Sebagian lainnya berpakaian kebaya sambil menjinjing mukena dan sajadah.
Anak-anak tidak lupa dibawa serta.
Meskipun sebagian besar jamaah berjalan kaki, namun tidak sedikit diantara
mereka yang datang ke masjid itu berkendaraan, baik sepeda motor maupun
mobil.Kebanyakan mobil-mobil yang datang dipenuhi oleh seluruh anggota keluarga.
Perasaan gembira tampak jelas pada wajah-wajah mereka yang penuh senyum.
Maklumlah, hari ini adalah Hari Raya Idul Fitri, hari kemenangan umat
Islam, setelah satu bulan lamanya mereka menjalankan ibadah Ramadhan.
Suara takbir semakin menggema. Jamaah semakin padat memenuhi ruangan
masjid yang luas itu. Sebagian mulai tampak membanjiri teras masjid
karena bagian dalam masjid sudah penuh. Sebentar saja, teras pun penuh terisi jamaah.
Beberapa anak kecil memanfaatkan kesempatan itu untuk menawarkan koran
bekas kepada jamaah yang baru datang. Di Jakarta, apa pun bisa dijual,
tak peduli di hari raya seperti ini.
Bukan hanya anak-anak penjaja koran bekas saja yang sedikit "mengganggu
pemandangan"(tm) pagi itu. Beberapa pengemis pun tampak berjejer di depan
gerbang masjid menyambut para jamaah dengan menyodorkan baskom plastik.
Beberapa diantara mereka menggendong bayi yang masih mungil.
Seorang anak laki-laki dengan wajah kusut dan pakaian yang masih kotor
terlihat berdiri di depan gerbang. Sebut saja namanya Husein. Usianya
sekitar tujuh tahun. Ragu-ragu ia memasuki gerbang masjid.
Ia tahu kalau hari ini adalah Hari Raya Idul Fitri, sehingga ia ingin
masuk ke dalam masjid untuk ikut merayakannya dengan sholat Id. Akan
tetapi ia juga sadar kalau keadaan dirinya yang kusut dan tak terurus itu
bisa menjadi pusat perhatian jamaah lain yang berpakaian rapi.
Husein memang mematung di depan gerbang. Beberapa rombongan jamaah yang hendak masuk ke masjid menyadarkan dirinya untuk segera menyingkir dan memberi jalan kepada mereka. Anak itu segera menepi. Diurungkan niatnya untuk masuk ke gerbang masjid.
Kini ia sandarkan tubuhnya di pagar besi yang mengelilingi masjid. Dari
pagar itu ia bisa melihat bagaimana ramainya suasana halaman masjid oleh
para jamaah dengan pakaian baru aneka warna. Anak-anak seusianya tampak
duduk bersila di samping orang tua mereka dengan baju baru, kain sarung
baru dan peci yang juga baru. Kontras sekali dengan dirinya yang lusuh
oleh debu dan pakaian yang kotor.
Terbayang dalam ingatannya ketika tahun-tahun lalu ia masih bisa menikmati
suasana lebaran yang penuh kebahagiaan bersama kedua orang tuanya.
Pagi-pagi, ia sudah dibangunkan oleh tangan lembut ibunya. Terdengar suara
takbir dari masjid dekat rumahnya. Kue-kue dan ketupat tersaji di meja
makan. Ia dan anak-anak seusianya tidak lupa ikut orang tua mereka sholat
dimasjid atau tanah lapang.Tawa canda tampak dari mereka setiap kali
bertemu. Mereka seolah saling memperlihatkan baju baru yang mereka pakai.
Tapi itu dua tahun lalu, ketika kedua orang tuanya masih berada di
sisinya. Sebab beberapa bulan selepas kenangan manis itu, kedua orang
tuanya harus bercerai. Sebagai seorang anak kecil, ia tidak mengerti
mengapa kedua orang tuanya harus bercerai, sehingga ia harus menjadi
korban dari sikap egoisme kedua orang tuanya.
Beberapa bulan kemudian , ia masih bisa merasakan kasih sayang ibunya ,
meski tidak tahu lagi kemana ayahnya pergi. Tetapi lewat tiga bulan dari
perceraian kedua orang tuanya, ibunya terpaksa kawin lagi dengan lelaki
lain. Parahnya, lelaki itu juga membawa ibunya pergi ke
ayah tirinya itu punya pekerjaan di
Husein sendiri dititipkan kepada neneknya dari pihak ibu. Maklumlah sejak
menikah, ayah dan ibunya memang menumpang di rumah neneknya itu. Karena
itu, Husein sudah dekat dengan sang nenek meskipun tetap saja ia merasakan
kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya. Kalau saja ia besar, ia ingin
sekali meninggalkan neneknya dan pergi ke
Sebenarnya, neneknya sendiri tidak memiliki penghasilan yang memadai.
Diusianya yang sudah uzur, ia terpaksa menghidupi dirinya dan cucunya dengan
kerja serabutan. Kadang ia masih ikut menjadi kuli di sawah atau kerja apa
saja yang bisa mendatangkan sesuap nasi bagi dirinya bersama cucunya.
Husein sendiri kerap kali membantu neneknya. Ibunya yang konon ikut
suaminya ke
uang untuk mereka, mengirimkan kabar saja tidak pernah.
Sampai akhirnya derita yang harus ditanggung Husein mencapai puncaknya
ketika minggu lalu sang nenek pun akhirnya pergi untuk selama-lamanya.
Neneknya meninggal dunia setelah dua hari menderita sakit.
berusaha mencari alamat ibunya untuk mengabari perihal kematian neneknya
itu. Tetapi tak satu pun yang tahu dimana alamat ibu Husein berada.
Akhirnya jenazah sang nenek terpaksa dimakamkan tanpa kehadiran anak
perempuan satu-satunya itu.
Selepas neneknya meninggal, beberapa saudara jauh dari neneknya mencoba
merayu Husein agar mau tinggal di rumah mereka. Akan tetapi Husein
tampaknya tidak bisa menerima kebaikan hati mereka. Mungkin ia merasa
kurang mengenal mereka.
Maklumlah mereka memang saudara jauh yang jarang datang ke rumah neneknya.
Akhirnya, satu hari setelah kematian neneknya, Husein nekad pergi
meninggalkan kampung halamannya. Dengan bekal seadanya, ia pergi ke
apa sesungguhnya
lewat sinetron di televisi.
Husein pergi ke
kampungnya di sebuah desa di
yang kembali ke
seorang pemilik toko.
Beruntung sang sopir mau mengantarkannya sampai ke terminal. Dari terminal
ia menumpang bus jurusan
kondektur yang kasihan melihat Husein. Apalagi, seminggu menjelang Idul
Fitri seperti ini, bus yang ditumpanginya justru kosong jika menuju
Sampai di Kampung Rambutan, Husein langsung bertanya ke
menanyakan orang-orang yang ditemuinya.
Ia mengira mencari orang di
kampungnya. Ternyata, semua orang yang ditanyainya malah memarahi
kebodohannya yang mencari orang tuanya tanpa kejelasan alamat sedikit pun.
Husein tidak mau menyerah. Ia merasa sudah terlanjur sampai di
Pantang baginya kembali ke kampung halamannya. Apalagi ia merasa sudah
tidak ada lagi saudaranya di kampung halamannya. Untuk apa kembali lagi?
Sementara di ibukota ini, ia masih memiliki peluang untuk menemukan ibunya,
meskipun ia tidak tahu sampai kapan cita-citanya itu bisa terwujud.
Untuk mengganjal perutnya, ia berusaha mengamen dari satu bus ke bus
lainnya tanpa menggunakan alat musik apa pun. Ia mengamen hanya
bermodalkan suara dan tepuk tangannya saja. Jika malam menjelang, ia
mencari tempat tidur di pinggir-pinggir toko atau terminal. Beruntung ia
belum pernah dijahili oleh para preman.
Dan pada hari kelima kedatangannya di
Suara orang ramai keluar dari masjid menyadarkan lamunan Husein. Anak-anak
seusianya berlarian dengan baju baru. Sebagian lainnya bergandengan tangan
dengan ibu bapaknya. Tiba-tiba Husein kembali teringat ibu bapaknya. Wajah
neneknya juga berkelebat di benaknya. Tanpa disadari, setetes air hangat
terbit di sudut kelopak matanya. Ia benar-benar merindukan orang-orang
yang dicintainya itu.
Ternyata, tanpa ia sadari, sepasang suami isteri yang mobilnya harus antri
keluar dari gerbang masjid, memperhatikan tingkah lakunya. Mereka trenyuh
menyaksikan seorang anak yang berwajah polos dengan penampilan kusut
tampak melamun menerawang denga air mata yang tak mampu ditahan. Mereka
tidak bisa membayangkan bagaimana jika nasib serupa menimpa anak-anak
mereka, meskipun sampai saat ini mereka belum juga dikaruniai seorang anak.
Suasana gerbang masjid yang semrawut membuat mobil pasangan yang sudah
tujuh tahun belum dikaruniai anak ini tidak bisa bergerak. Entah apa yang
menggerakkan hati wanita itu, ketika tiba-tiba ia membuka pintu mobil.
Sejenak ia menatap wajah suaminya. Mata sang suami tampak memberi isyarat
kalau ia menyetujui tindakan isterinya.
Sang isteri bergegas menghampiri Husein yang hendak bersiap pergi
meninggalkan tempat itu. Sedikit gugup dan agak kesulitan untuk memulai
menyapa Husein, perempuan yang sudah lama merindukan hadirnya seorang anak
dalam rumah tangganya itu, akhirnya memberanikan diri menuruti naluri rasa
sayangnya menyapa Husein.
"Ibumu dimana?" tanya perempuan itu. Husein terkejut bukan kepalang. Ia
tidak mengira kalau perempuan itu ternyata menyapanya. Padahal, ia belum
sempat menyeka air matanya.
Husein tidak mampu menjawab pertanyaan lembut itu. Ia seolah menemukan
kelembutan seorang ibu yang begitu lama dirindukannya. Ia hanya mampu
menggeleng karena air matanya semakin deras mengucur di pipi.
"Dimana ibumu?" tanya wanita itu lagi.
Husein berusaha keras melawan perasaannya, tetapi ia tidak mampu.
Berkali-kali ia mencoba mengusap air matanya, tetapi air bening itu seolah
tumpah begitu saja, tak mampu dibendungnya.
Perempuan itu tampaknya semakin penasaran sekaligus merasa kasihan kepada
Husein. Ia segera membungkuk, lalu duduk berjongkok agar bisa lebih dekat
lagi dengan anak
Husein. Lalu ia mengusapnya perlahan-lahan.
"Siapa namamu?" tanya wanita itu sambil menatap wajah Husein. Wanita itu
melihat kepolosan di mata anak itu, juga duka yang begitu dalam. Tampaknya
ia bisa membaca kepedihan dan duka Husein.
Mendapat perlakuan penuh kasih seperti itu, Husein semakin haru. Ia tidak
habis pikir. Betapa tidak, hampir satu minggu ia menjelajah ibukota
mencari ibunya, tetapi tak ada satu orang pun yang bersikap baik padanya,
apalagi menunjukkan perhatian yang begitu besar seperti wanita ini.
Sambil mengusap air matanya, ia mencoba memandang wanita itu. Wanita itu
masih memandangnya dengan tatapan penuh kasih seorang ibu. Aneh, tiba-tiba
perasaan haru yang besar merayap di hati Husein. Ia seolah merasakan kembali
tatapan dan kasih sayang ibunya yang sudah lama tidak dirasakannya. Tanpa
sadar, ia memeluk wanita itu, seolah memeluk ibunya sendiri yang begitu
lama tidak pernah mendekapnya. Air mata pun semakin deras mengalir dari
pipinya membasahi busana Muslimah wanita itu.
Wanita itu segera menyambutnya. Ia mengelus punggung anak
Tanpa terasa, air matanya ikut menitik dan jatuh di pipinya. Ia bisa
merasakan kesedihan dan kerinduan seorang anak yang mendambakan kehangatan
orang tuanya. Perlahan ia lepaskan pelukannya dan dipegangnya pundak
Husein dengan lembut.
"Kamu tinggal dimana?" tanya wanita itu penuh harap.
Matanya benar-benar menyelidik, berharap Husein segera menjawabnya,
saya tidak punya rumah di sini. Saya mencari ibu. Katanya ibu ke
"Dimana tinggalnya?" tanya wanita itu lagi.
Husein menggeleng, tetapi kemudia ia berucap, "Sudah hampir setahun ibu
pergi. Saya tidak tahu kemana. Kata nenek, ibu dibawa bapak tiri saya ke
"Nenek meninggal satu minggu yang lalu di kampung. Saya, saya tinggal
sendiri. Bapak sudah lama pergi. Bapak kawin lagi. Saya tidak tahu
dimana," cerita Husein.
Mendengar pengakuan polos Husein, wanita itu semakin terharu. Naluri
keibuannya yang lembut membuatnya tak mampu menahan tetesan air bening
yang perlahan merambat di pipinya. Suaminya yang sejak tadi menunggu di
mobil yang sudah menepi, akhirnya turun juga. Ia bisa melihat keharuan di
mata isterinya, didekatinya isterinya sambil berjongkok memandang Husein.
"Maukah kamu menganggap saya ibumu?" tanya wanita itu.
Husein tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mampu memandang sebentar
sepasang suami isteri yang menatapnya penuh haru dan kasih. Ia
membayangkan, betapa bahagianya jika dua orang di depannya itu adalah ayah
dan ibunya, dua orang yang begitu dirindukannya.
"Maukah engkau tinggal bersama kami? Anggaplah kami orang tuamu," ujar
wanita itu dengan suara sedikit bergetar. Husein semakin terharu. Perlahan
ia tegakkan kepalanya yang sejak tadi lebih banyak tertunduk.
Mata polosnya menatap sepasang suami isteri di depannya dengan penuh tanya.
"Ikutlah dengan kami," tiba-tiba suami perempuan itu ikut bicara. Ia
memegang bahu Husein. Lagi-lagi Husein tidak mampu menahan harunya. Ia
rebahkan wajahnya di bahu lelaki itu. Air matanya belum juga reda. Isteri
lelaki itu kembali mengusap kepala Husein.
Jangan takut, Nak. Meskipun orang tuamu belum engkau temukan, kami
bersedia menjadi pengganti mereka. Jadilah anak angkat kami," bujuk isterinya lagi.
Suami wanita itu mengangkat kepala Husein dan kembali memandangnya dengan
penuh rasa sayang. Sorot matanya menunjukkan betapa ia benar-benar ingin
mengajak Husein menjadi bagian dari keluarganya.
"Ikutlah dengan kami. Jadilah anak angkat kami," ucap lelaki itu sambil
memegang tangan kanan Husein. Isterinya pun segera berdiri dan memegang
tangan kiri Husein.
Tanpa bisa menolak lagi, Husein pun mengikuti kedua pasangan suami isteri
itu menuju mobil mereka. Begitu mobil dibuka, Husein berhenti sebentar. Ia
ragu-ragu. "Tak apa. Masuklah! Anggaplah kami orang tuamu!" ujar si suami.
Setelah Husein masuk, mobil pun segera pergi diikuti tatapan jamaah lain
yang tampak keheranan.
Sejak saat itu, Husein tinggal di rumah pasangan suami isteri tadi. Ia
dianggap anak oleh mereka. Tapi, Husein tetap tidak menyerah. Ia terus
berusaha menemukan kedua orang tuanya meskipun sampai hari ini, setelah
satu tahun kedatangannya di ibukota, usahanya tetap sia-sia.
Husein hanyalah salah satu contoh dari anak-anak yatim yang masih
beruntung karena masih ada orang yang mau mengasihinya. Masih banyak
anak-anak kita yang berkeliaran di jalan-jalan tanpa seorang pun yang
peduli apalagi melindungi dan mengasihi mereka. Semoga di hari yang fitri
nanti kita bisa berbagi kebahagiaan kepada mereka yang kurang beruntung,
terutama anak-anak yatim di sekitar kita.
Amiin.
Hidayah, Intisari Islam)
No comments:
Post a Comment